Pertanyaan yang pernah menghampiri saya.
Bagaimana jika kita menulis kisah pribadi? Menulis adalah suatu kegiatan yang
pekerjaan yang tidak mengekang.
Artinya, pekerjaan ini membebaskan penulis
untuk berkreasi. Pendek atau panjang, nyata atau fiktif, dan nasihat atau
cerita kembali kepada kehendak dan kreativitas penulis.
Penulis berhak penuh
atas karyanya. Termasuk ketika penulis berkehendak menuliskan kisah pribadinya.
Perkara itu sah-sah saja, dengan catatan penulis harus bertanggung jawab atas
tulisannya.
Mengenai kisah pribadi ini berhubungan
dengan tulisan fiksi. Mengapa demikian? Bukankah berbeda antara kisah nyata
dengan fiktif. Memang berbeda.
Namun, dari segi hakikat tulisan sama. Karena
jenis tulisan fiksi adalah tulisan yang bercerita atau menyajikan cerita. Jadi,
misalnya ketika menulis novel penulis menyajikan kisah pribadi alias kisah
nyata, tidak akan mengubah hakikatnya sebagai novel.
Dan novel merupakan salah
satu tulisan fiksi. Namun, bisa juga menulis kisah pribadi bukan dalam bentuk
novel, seperti dalam buku motivasi atau pengembangan diri. Itu hal yang sah-sah
saja dalam kepenulisan.
Silakan dipilih buku yang mana yang
hendak ditulis. Namun, ketika menulis kisah pribadi, ada beberapa hal yang
perlu kita perhatikan, yaitu:
Pertama, Tidak harus menyajikan adegan sesuai dengan urutan
kejadian nyata yang dialami oleh diri sendiri. Misalnya, bangun tidur, mandi,
sarapan, berangkat, ditilang polisi, akhirnya terlambat datang ke sekolah.
Baca juga : Mengapa Perlu Melakukan Editing?
Kalau
begini, maka ceritanya akan sangat tidak menarik. Terkesan monoton. Bahkan,
maaf ngomong anak SD saja bisa menuliskan hal seperti itu. Oleh karena itu,
tulislah bagian-bagian kejadian yang menarik saja. Pada bagian ditilang polisi
misalnya.
Kita bisa menyajikan dengan bahasa yang sedikit “wah”. Sehingga
seolah-olah pembaca ikut terseret dalam pergolakan kejadian itu. Kita harus cerdas
dalam mengolah dan memilah-milah kata. Hal itu supaya kejadian yang kita
sajikan terkesan ada “greget”-nya.
Kedua, Sertakan tokoh seperlunya saja. Dalam kehidupan nyata
kita senantiasa berinteraksi dengan banyak orang. Namun, kita juga tidak perlu
menyajikan semua tokoh yang kita temui dalam cerita.
Terlalu banyak tokoh
justru akan membuat pembaca pusing. Dan ketika itu juga akan membuat mereka
enggan membacanya. Ya, pembaca itu menginginkan sebuah hiburan sekaligus informasi
dari tulisan, bukan memikirkan tulisan.
Cukup dengan memasukkan tokoh-tokoh
yang memiliki andil (dalam artian pada hal-hal penting saja) yang cukup penting
dalam kejadian. Jadi, kita harus bijak dalam memilih dan memilah
tokoh-tokohnya.
Ketiga, Mendramatisasi cerita. Ada pendapat yang menyatakan bahwa
penulis cerita adalah orang yang berlebihan. Pendapat itu sah-sah saja, karena
memang begitulah adanya.
Penulis-penulis cerita senantiasa mendramatisasi
kejadian dalam tulisannya. Namun, yang perlu digarisbawahi adalah kejadian atau
kisah tidak di dramatisasi secara berlebihan. Cukup untuk membuat pembaca merasa
gregetan atau terseret ke dalam alur yang kita sajikan.
Haruskah mendramatisasi
cerita? Sebelum menjawabnya, coba simak kutipan berikut ini.
Diceritakan
bahwa Doni menyatakan cintanya kepada Elis melalui SMS. Elis menolaknya juga
melalui SMS. Alasannya Elis sudah memiliki pacar. Doni pun sakit hati. Ia
melampiaskan kesedihannya dengan melempar HP-nya lalu memukul dinding kamarnya.
Bandingkan dengan,
Hati Doni
berdebar tatkala HP-nya berdering. Ada SMS masuk. Tangannya gemetar membukanya.
SMS antara hidup dan mati perjuangannya mendapatkan cinta. Ya, SMS itulah
balasan dari ungkapan cintanya baru saja.
“Maaf, Don.
Bukan tidak mau menerima cintamu. Tapi, untuk saat ini sudah ada yang singgah
di hatiku.”
Hatinya ngilu
menatap kenyataan. Elis, seorang gadis yang begitu didambakan telah menjalin
cinta dengan laki-laki yang entah siapa namanya. Ia mengenggam HP-nya
erat-erat, lalu melemparkan sekenanya. HP-nya buyar. Namun, belum juga pedih
terhapuskan. Tajam ia menghantam dinding kamar. Luka di tangannya menambah pilu
yang dirasakan. Pilu dalam jiwa dan raga.
Walau dengan
kejadian yang sama, tetapi akan ada rasa yang berbeda ketika membaca keduanya.
Sajian yang kedua lebih menarik dan tidak monoton. Itulah yang membuat kisah
atau cerita seolah hidup. Tidak kaku.
Baca juga: Mengenal Lebih Dalam Seputar Karya Non-Fiksi
Keempat, Tidak memaksakan konflik. Ketika kisah yang kita tulis
adalah kisah nyata, maka kita harus menyajikan konflik yang apa adanya dengan
sajian yang sedikit dilebihkan.
Untuk lebih jelasnya kita bisa melihat contoh
di poin kedua. Konfliknya adalah ditolak perempuan yang disukai, tetapi
sajiannya berbeda. Sajian yang menarik itulah yang akan membuat konflik yang
terjadi dalam cerita kita ada greget-nya. Konfliknya benar-benar terasa.
Namun,
ketika kita menulis dengan perpaduan antara kisah nyata dengan fiktif, maka
boleh menyajikan atau menambahkan konflik lain sesuai keinginan. Yang perlu
menjadi catatan adalah konflik tidak selalu harus “wah”, tetapi sajiannya yang
“wah”.
Kelima, Karakter tokoh harus jelas. Sama seperti menulis cerita
fiksi lainnya, kita harus menyajikan karakter tokoh-tokoh dengan jelas. Kejelasan
karakter itulah yang membuat konflik dan jalannya cerita lebih menarik.
Bilapun
tulisan kita adalah full kisah nyata, maka kita harus menyajikan tokoh-tokoh
tertentu yang memiliki karakter yang jelas-jelas berhubungan dengan
kejadian-kejadian dalam cerita.
Namun, ketika kisah pribadi hanya dijadikan
acuan (dalam kata lain kita menulis perpaduan kisah nyata dengan fiktif), maka kita
boleh menciptakan karakter tokoh sesuai selera kita.
Menulis berdasarkan kisah pribadi? Mengapa tidak? Jika memang itu bisa dijadikan ide dalam tulisan, maka silakan mencobanya. Yang penting adalah “sajian”-nya.
Semoga bermanfaat dan selamat mencoba mengaplikasikan ilmunya. Sukses selalu.
----------------------------------------------------
Dapatkan artikel terbaru kami
No comments:
Post a Comment